Belantara di Pusat Kota

Foto oleh : Anggun Nurfitasari

Bagi Anda yang pusing dengan segala rutinitas kota, berjalan-jalan di alam bebas bisa jadi pilihan yang asyik. Anda mungkin menghabiskan banyak uang untuk berlibur ke pantai atau sekadar hiking ke gunung. Namun kini Anda tak perlu itu lagi, karena hutan kota yang asri kini dibuka tepat di sekitar Dago. Kunjungilah Hutan Kota Babakan Siliwangi dan rasakan sepenggal hutan di sini.


Area masuk

Siang itu panas sekali saat saya dan fotografer turun dari angkot, tepat di depan lokasi hutan kota, seberang sebuah kafe. Tak ada gerbang khusus penanda lokasi di sini, hanya trotoar yang dibuat lebar, dilengkapi dengan parkir sepeda yang sering kosong. Logo ‘bdg’ lambang kreatif Kota Bandung yang sebelumnya terpasang pun kini hilang. Namun di hutan kota yang boleh diakses publik sejak akhir 2011 inilah, kami siap bertualang.


Dari situ ada dua jalan, satu ke kanan satu lagi ke kiri. Kami memilih ke kiri terlebih dahulu. Ternyata jalan itu adalah jembatan untuk melihat hutan dari ketinggian, fasilitas yang dibangun dan diresmikan saat konferensi internasional lingkungan anak Tunza di Sabuga September lalu. Kami turun menyusurinya, melihat bagaimana pohon-pohon yang dikelilingi jembatan itu. Jembatan itu setinggi lima meter dari tanah, pijakannya adalah kayu yang tersusun rapi. Di area terbawah, ada tumpukan sampah yang cukup mengganggu. Kami lihat ke tanah di bawahnya, rupanya sampahnya banyak juga. Padahal jembatan ini dibuat saat konferensi lingkungan.

Fasilitas jembatan

Tepat dari depan sampah itu, kami memandang ke kanan dan melihat seorang lelaki dan perempuan duduk di salah satu sudut seraya berbincang pelan. Mereka terdengar langsung mengecilkan suara saat tahu kami hadir. Kami tak ingin mengganggu, jadi kami mengambil duduk di tangga saja, 10 meter dari kiri mereka, mencoba mengabadikan momen itu sambil siaga kalau-kalau mereka sadar sedang difoto. Ini dia fotonya.

Cihuy

Puas mengambil foto mereka, kami langsung beranjak ke tempat lain. Meski siang itu terik, tempat ini teduh dan adem, sehinnga enak untuk dipakai duduk-duduk. Namun kami mencari pengalaman lebih, maka kami pun kembali ke atas, ke area masuk, dan kali ini mengambil jalan kanan.

Akar yang menjuntai dari pepohonan

Setelah melewati jalan turun yang cukup curam dan sebuah kantor kelurahan, kami sampai di jalan aspal, tempat beberapa galeri seni memajang karyanya. Dari situ, terlihatlah jembatan tadi, tegak setinggi lima meter dan terlihat menyusup di antara dedaunan. Seberang galeri itu ada seekor monyet yang diikat di batang pohon, sedang sibuk mencari apa pun sekitar situ. Bila Anda mengikuti jalan aspal itu, Anda akan sampai di gerbang sarana olahraga Sabuga, tapi kami tidak. Tak jauh dari si monyet, ada jalan setapak menuju hutan yang masih begitu asli. Kami pilih yang satu ini.

Jalan itu tak begitu besar, tertutup pepohonan juga. Yang jelas, saat kami baru masuk sedalam dua puluh meter, kami kira kami ada di dekat air terjun Maribaya. Bagaimana tidak? Pepohonan di situ rapat sekali, daun-daun jatuh tersebar di jalan kecil itu, ranting-ranting menerpa hanya setinggi kepala orang dewasa, dibungkus pula dengan akar gantung yang cukup lebat, semuanya makin menguatkan kesan hutan belantara.

Suasana Hutan Kota Babakan Siliwangi

Kami terus berjalan, melewati pohon terbesar yang menjuntaikan akarnya di tepat di atas kepala kami hingga membetuk tirai yang cukup rapat untuk menghalangi pandangan. Kami menyibakkan akar itu, lalu mendengar suara orang tak jauh dari situ, maka ke situlah kami selanjutnya berjalan.

Sekumpulan orang mulai terlihat, mengingatkan kami bahwa ini bukan hutan belantara liar. Kami baru saja akan ke sana saat kami melewati kolam kecil di kanan kiri kami. Beberapa tulisan peduli lingkungan disebar di sekitar kolam-kolam itu. Seorang bapak tua sedang melebarkan jalanya di kolam itu seraya sepintas tersenyum pada kami.

Kami bertemu dengan sekelompok orang yang bersuara tadi, rupanya mereka adalah mahasiswa Biologi ITB yang sedang praktikum. Mereka menandai sebidang tanah dengan tali, mengangkat tanaman ini dan itu, memasukkannya dalam plastik, kemudian mencatat beberapa data. Meski terlihat sibuk, dua di antara mereka, Didot dan Thoriq, bersedia melayani pertanyaan kami.

Anjuran peduli lingkungan

Usai mewawancarai mereka sekilas, kami bergerak semakin dalam dan menemukan sebuah lapang yang dikelilingi gazebo. Itu adalah arena ketangkasan domba. Dari gazebo itu terlihat jelas kolam renang Sabuga, beberapa orang sedang asik berenang. Mungkin mereka kira tempat kami hanyalah hutan, padahal kami memperhatikan. Bagian tengah gazebo tadi berundak, seperti tribun yang memang untuk duduk. Ada anjing yang tidur di kolong, ada satu lagi yang berlarian dengan seorang anak. Anak dan anjing itu bergantian kejar-kejaran, tak memedulikan kehadiran kami.

Pagar rusak tempat kami keluar

Dari situ terlihat tanah yang berundak ke atas, disangga dengan kayu seperti tangga, tempat kita bisa berjalan kembali ke atas. Kami menapaki jalan itu, ke atas, hingga sampai di deretan pohon yang amat panjang. Ratusan pohon yang ditanam anak seluruh dunia saat konferensi Tunza Oktober lalu. Di situlah, kami melihat pagar yang membatasi hutan ini dan jalan raya, dengan sebuah pagar rusak yang bisa jadi jalan keluar. Kami bergegas keluar selepas menjelajah belantara mungil bernama Babakan Siliwangi, kami sampai di dekat gerbang utara ITB. Seketika kami tersadar, petualangan yang kami alami barusan tidaklah dimana-mana, tapi masih di pusat kota. []

Comments